Minggu, 19 Februari 2012
Haid Dan Permasalahannya II
1. Tidak Normal (Istihadloh)
Apabila darah yang dikeluarkan wanita melebihi 15 hari (maksimal haidl). Maka untuk hukumnya ditafsil sesuai kuat dan lemahnya darah, adat, daya ingat masa haidl yang telah lewat.
Wanita yang terjangkit istihadloh ini di bagi menjadi 7 (tujuh) kelompok:
1. mubtadi’ah mumayyizah;
2. mubtadi’ah ghoiru mumayyizah;
3. mu’tadah mumayyizah;
4. mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran wa waqtan;
5. mu’tadah ghoiru mumayyizah nasiyah li ‘adatiha qadran wa waqtan;
6. mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran la waqtan;
7. mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha waqtan la qadran.
Saat darah keluar, seorang wanita wajib menghindari hal-hal yang diharamkan sebab haidl. Bila darah yang keluar telah berhenti, maka: jika darah yang keluar tidak mencapai 24 jam (batas minimal haidl), maka ia cukup membersihkan farjinya dan berwudlu’ bila ingin melakukan ibadah (tidak wajib mandi). Jika darah yang keluar sudah mencapai 24 jam maka sewaktu-waktu darah berhenti ia wajib mandi dan melakukan rutinitas ibadah. Bila kemudian darah keluar lagi, maka ia diwajibkan kembali menghindari hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidl. Jika darah berhenti lagi ia wajib mandi lagi, demikian seterusnya selama masih dalam masa 15 hari[1].
Kemudian darah dihukumi berhenti, bila seandainya diusap dengan cara memasukkan semisal kapuk sudah tidak ada cairan yang seesuai dngan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening)[2]. Namun, bila masih ada cairan yang berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan diantara ulama, ada yang mengatakan masih di hukumi darah haidl (qaul yang kuat) karena menganggap masih berwarna darah, disamping memandang hukum asal, bahwa cairan itu keluar pada masa imkanul haidl. Ada yang berpendapat bukan darah haidl, karena menganggap cairan itu tidak berwarna darah[3].
a) Sunah untuk tidak memotong kuku, rambut, dan lain-lain dari anggota badan saat haidl, karena ada keterangan kelak di akhirat anggota badan yang belum disucikan akan kembali ke pemiliknya masih dalam keadaan jinabat (belum disucikan). Akan tetapi bila terlanjur dipotong, maka yang wajib dibasuh adalah tempat (bekas) anggota yang dipotong, bukan potongan dari anggota itu[4].
b) Saat darah berhenti, wanita diperbolehkan mulai niat melaksanakan puasa sekalipun belum mandi. Karena haramnya puasa itu, disebabkan haidl bukan hadats. Berbeda dengan sholat, sebab penghalangnya adalah hadats. Juga berbeda dengan bersetubuh, sebab ada nash hadits yang secara jelas melarang menggauli istri sebelum bersuci[5].
c) Bagi wanita yang darah haidlnya berhenti dan belum sempat mandi jika ingin tidur, makan, atau minum disunnahkan membersihkan farjinya kemudian wudlu’. Dan bila meninggalkan hal ini, hukumnya makruh[6].
d) Biasanya, menjelang atau di saat haidl, wanita mengalami gangguan kesehatan. Di antaranya (berdasarkan hasil polling):
1. payudara mengencang dan teras sakit;
2. pegal-pegal, lemah dan lesu;
3. perut terasa sakit/mulas;
4. mudah emosi.
Hal-hal tersebut tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab itu hanyalah dampak dari keluarnya darah secara wajar. Biasanya akan hilang di saat berhentinya darah haidl, bahkan terkadang hal itu berlangsung sebentar.
Bagi wanita yang mengalami haidl, maka ada beberapa hal yang diharamkan, yaitu:
1. sholat (wajib maupun sunnah).
Sabda RasuluLlah r:
إذا اقبلت الحيضة فدعي الصلاة . الحديث (رواه البخاري)
Artinya: “Jika kamu (wanita) menghadapi (mengalami) haidl, maka tinggalkanlah sholat.” (H.R. Bukhari)
Sholat yang ditinggalakan selama masa haidl tidak wajib diqodlo’. Sebab tidak ada perintah qodlo’ dari syara’, disamping hal itu dianggap akan menimbulkan kesulitan (masyaqqah), mengingat kewajiban sholat sehari semalam lima kali. Bagi kaum wanita tidak usah khawatir akan hilangnya pahala dengan larangan sholat baginya, sebab jika dalam meninggalkan sholat karena haidl diniati tunduk dan mengikuti perintah Allah I ia akan tetap mendapat pahala[7].
2. Sujud syukur dan tilawah.
Pada dasarnya kedua sujud ini hukumnya sunnah dilakukan bila ada sebab-sebab yang menuntut sujud tersebut. Namun, karena syarat sahnya kedua sujud ini sama dengan syarat sahnya sholat, maka bagi wanita yang mengalami haidl tidak sah dan haram melakukannya[8].
3. Puasa, wajib maupun sunnah.
RasuluLlah r bersabda:
أليس إذا حاضت المرأة لم تصل ولم تصم. (متفق عليه في حديث طويل)
Artinya: “Bukankah perempuan apabila sedang haidl tidak boleh sholat dan puasa?” (H.R. Bukhari-Muslim).
Berbeda dengan sholat, puasa yang ditinggalkan itu wajib di qodlo’i mengingat puasa hanya sekali (satu bulan) dalam setahun, sehingga dianggap tidak timbul masyaqqah.
4. Thawaf (wajib maupun sunnah)
Semua ibadah haji boleh dilakukan oleh wanita haidl kecuali thawaf dan sholat sunnah thawaf . RasuluLlah r bersabda:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : لما جئنا سرف حضت فقال النبي صلعم افعلي ما يفعل الحاج غير ان لا تطوفي بالبيت حتى تطهري. (متفق عليه)
Artinya: dari A’isyah Ra. dia berkata ”ketika kami sampai di sarif, saya mengalami haidl”, maka Nabi Saw. bersabda: “Lakukanlah semua hal yang harus dilakukan oleh orang yang haji tetapi engkau tidak boleh thawaf di BaituLlah sehingga engkau suci (dari haidl).” (H.R. Bukhari-Muslim)
5. Membaca al Qur-an
RasuluLlah r bersabda:
لا يقرأ الجنب ولا الحائض شيأ من القرآن . رواه الترمذي
Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haidl membaca sesuatu (ayat) dari al Qur-an.” (H.R. al-Turmudzi).
Keharaman ini, bila dalam melafazkan al Qur-an diniati membaca al Qur-an, namun bila diniati zikir/doa, dimutlakkan atau dibaca dalam hati, maka hukumnya diperbolehkan[9].
Misalnya: ketika akan berdandan membaca بسم الله الرحمن الرحيم
6. Menyentuh dan membawa mushaf (al Qur-an).
Yang dimaksud mushaf adalah setiap sesuatu yang ditulisi lafaz al Qur-an, dengan tujuan dirosah (dibaca) meskipun kurang dari satu ayat.
Allah I berfirman:
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ، فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ، لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ، تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. (الواقعة 77 – 80 )
Artinya: “Sesungguhnya al Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (lauh al-mahfuzh), tidak (boleh) menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan, diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (QS. Al Wâqi’ah: 77-80)
Ayat ini, oleh sebagian ulama dijadikan sebagai salah satu dasar tidak diperbolehkannya menyentuh al Qur-an bagi orang yang hadats.
7. Lewat ataupun berdiam diri dalam masjid.
Nabi r bersabda:
إني لاأحل المسجد لحائض ولا جنب. رواه ابو داود
Artinya: “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haidl dan tidak pula bagi orang yang junub.” (HR. Abu Daud)
8. Dicerai.
Hal ini diharamkan, sebab bila sang istri dicerai saat haidl, maka akan menajdi penyebab bertambah lamanya masa ‘iddah (penantian untuk memastikan kosongnya rahim).
9. Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar. Keharaman ini merujuk pada firman Allah I dalam surat al-Baqarah ayat 222,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ. (البقرة 222)
yang artinya: ”oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (QS. Al Baqoroh: 222)
Dan hadits Nabi r yang diriwayatkan Abu Dawud t:
عن معاذ بن جبل انه سأل النبي ما يحل للرجل من أمرأته وهي حائض؟ فقال : ما فوق الإزار. رواه ابو داود
artinya: diceritakan dari sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ia bertanya kepada Nabi Saw. ”apa yang halal dilakukan seorang suami pada istrinya di saat haidl?” RasuluLlah menjawab: ”persentuhan kulit pada selain anggota antara lutut dan pusar”. (HR. Abu Daud t)
Haid Dan Permasalahannya
I. Dalil tentang haidl
Haidl adalah kodrat wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat kaitannya dengan aktivitas ibadahnya sehari-hari. Sebagaimana firman Allah I dalam surat al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: haidl itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Seseungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang mensucikan diri.”
Dan hadits Nabi r:
هذا شيء كتبه الله على بنات أدم (متفق عليه)
Artinya: “Haidl ini merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah kepada cucu-cucu wanita Adam. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Pada masa jahiliyah haidl dianggap sesuatu yang menjijikkan yang dipikul oleh kaum wanita. Pada masa itu, orang yahudi tidak memperlakukan secara manusiawi terhadap istrinya yang sedang haidl, mereka mengusirnya dari rumah, tidak mau mengajak tidur, dan makan bersama. Sementara orang nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya di kala haidl[1]. Hal ini mendorong para sahabat untuk menanyakan tentang hukum-hukum haidl, sehingga turunlah ayat di atas. Dari sinilah kemudian para ulama merumuskan hukum-hukum yang terkait dengan permasalahan haidl.
II. Pengertian Haidl
Haidl atau biasa disebut menstruasi secara harfiyah (lughat) mempunyai arti mengalir. Sedangkan menurut arti syar’i adalah darah yang keluar melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang 16 hari tidak genap (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit) dan keluar secara alami (tabi’at perempuan) tidak disebabkan melahirkan atau sakit. Dengan demikian darah yang keluar ketika wanita berumur 9 tahun kurang 17, 18, 19, 20 hari dan seterusnya atau disebabkan penyakit ataupun disebabkan melahirkan maka tidak dinamakan darah haidl[2].
Pada umumnya wanita selalu mengalami haidl tiap bulan secara rutin sampai masa menopause (usia tidak keluar haidl). Namun tidak menutup kemungkinan terjadi haidl pada usia senja, sebab tidak ada masa maksimal wanita mengalami haidl[3].
III.Hukum mempelajari haidl
a. Fardlu Ain bagi wanita yang baligh.
Artinya wajib bagi setiap wanita yang sudah baligh untuk belajar dan mengerti permasalahan yang berhubungan dengan haidl, nifas, dan istihadloh. Sebab mempelajari hal-hal yang menjadi syarat keabsahan suatu ibadah adalah fardlu ain.
b. Fardlu Kifayah bagi laki-laki.
Mengingat permasalahan haidl tidak bersentuhan langsung dengan rutinitas ibadah kaum laki-laki, maka hukum mempelajarinya adalah fardlu kifayah. Sebab mempelajari ilmu yang tidak bersentuhan langsung dengan amaliyah ibadah yang dilakukan hukumnya adalah fardlu kifayah. Hal ini untuk menegakkan ajaran agama dan untuk keperluan ifta’ (fatwa)[4].
IV. Batas usia wanita mengalami haidl.
Awal usia seorang wanita yang mengeluarkan darah haidl adalah usia 9 tahun kurang 16 hari tidak genap (8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit). Sedangkan darah yang keluar dari wanita yang berumur 9 tahun kurang 17, 18, 19 hari dan seterusnya bukan darah haidl, tapi darah istihadloh. Namun, jika sebagian keluar sebelum usia haidl dan sebagian keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl, maka hukumnya tafsil:
a) darah yang keluar saat belum mencapai usia wanita haidl hukumnya adalah darah istihadloh.
b) darah yang keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl hukumnya adalah darah haidl jika keluarnya mencapai 24 jam.
Contoh seorang wanita tahun kurang 20 hari mengeluarkan darah selama 10 hari maka: berumur 9
§ darah 4 hari awal lebih sedikit hukumnya darah istihadloh sebab keluarnya darah saat belum mencapai usia wanita haidl.
§ darah 6 hari akhir kurang sedikit di sebut darah haidl, karena keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl.
Sedangkan usia monopause (usia yang sudah tidak mengalami haidl) umumnya adalah 62 tahun. Namun, ulama menjelaskan bahwa usia berapapun bila wanita mengeluarkan darah yang telah memenuhi syarat-syarat haidl, maka dihukumi haidl, dan wanita lanjut usiapun masih mungkin mengalami haidl[5].
V. Ketentuan Darah Haidl
Darah yang dikeluarkan oleh seorang wanita yang telah mencapai usia haidl dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu normal (haidl) dan tidak normal (istihadloh).
1. Normal (haidl) bila darah yang dikeluarkan wanita telah mencapai 24 jam (batas minimal haidl) dan tidak melebihi 15 hari (batas maksimal haidl).
Maka apapun warna dan sifat darah (kuat atau lemah) asalkan tidak melewati 15 hari 15 malam, maka semua dihukumi haidl.
Istilah darah kuat dan lemah diperhitungkan bagi wanita yang mengalami istihadloh (keluar darah lebih dari 15 hari 15 malam) dan tidak berlaku untuk orang yang haidl secara normal. Dengan demikian, meskipun warna dan sifat darah berubah-ubah, jika masih dalam waktu 15 hari, maka semua dihukumi haidl.
Contoh: 01). 3 hari keluar darah hitam; 2 hari keluar darah kuning; 5 hari keluar darah merah; maka haidlnya adalah 10 hari.
Cara Bersucinya: Jika sewaktu-waktu darah berhenti (naqa’), maka: jika jumlah darah yang keluar sebelum berhenti tidak mencapai 24 jam, maka ketika akan sholat ia cukup mencuci farjinya dan wudlu’ saja (tidak wajib mandi). Dan bila darah yang keluar sudah mencapai 24 jam, maka sewaktu-waktu darah berhenti ia wajib mandi ketika akan melakukan sholat. Jika setelah itu masih keluar darah lagi maka berarti mandi dan ibadahnya tadi tidak sah begitu seterusnya sampai waktu 15 hari.
Catatan:
§ Paling sedikit masa haidl (aqall al-haidl) adalah sehari semalam (24 jam);
§ Paling lamanya masa haidl (aktsar al-haidl) adalah 15 hari 15 malam;
§ Pada umunya setiap bulan wanita mengeluarkan haidl selama 6 atau 7 hari, sehingga masa sucinya 23 atau 24 hari. Namun, ada juga wanita yang haidl kurang atau lebih dari masa tersebut. Adapula yang mengalami haidl tiap 5 bulan atau satu tahun sekali. Bahkan ada yang selama hidupnya tidak pernah mengalami haidl seperti yang dialami Sayyidah Fathimah al-Zahra binta Rasulillah r[6].
Paling sedikit jarak masa yang memisah antara haidl yang satu dengan haidl sebelumnya (aqall al-thuhri) adalah 15 hari 15 malam. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam satu bulan wanita mengalami haidl dua kali.
Contoh: keluar darah 2 hari (tanggal 1 dan 2); berhenti selama 16 hari; keluar darah lagi selama 3 hari (tanggal 19, 20 dan 21). Maka, 2 hari awal dihukumi haidl dan 3 hari yang akhir saat keluar darah juga dihukumi haidl, sebab keluarnya setelah melewati masa suci 15 hari.
Jika masa pemisah kurang dari 15 hari, maka diperinci:
a. bila darah pertama dan kedua masih dalam waktu 15 hari, maka semuanya dihukumi haidl termasuk masa berhenti diantara dua darah tersebut[7].
Contoh: keluar darah selama 3 hari, berhenti selama 3 hari, keluar lagi selama 5 hari, maka haidlnya adalah 11 hari.
b. bila darah kedua di luar masa 15 hari dari permulaan darah pertama (darah pertama ditambah pemisah tidak kurang dari 15 hari), sementara jumlah masa pemisah ditambah darah kedua tidak lebih 15 hari, maka: darah kedua dihukumi darah kotor/fasad[8].
Contoh 01): keluar darah pertama 3 hari, berhenti selama 12 hari, keluar darah kedua 3 hari, maka, 3 hari pertama adalah haidl. 12 hari saat berhenti adalah masa suci. 3 hari akhir adalah darah fasad/kotor yang dihukumi masa suci.
Contoh 02): keluar darah pertama 6 hari, berhenti selama 9 hari, keluar darah kedua 2 hari, maka, 6 hari awal dihukumi haidl, berhenti 9 hari dihukumi masa suci dan 2 hari akhir dihukumi darah kotor/fasad[9].
Sedangkan bila jumlah masa suci pemisah ditambah darah kedua melebihi 15 hari, maka sebagian darah kedua dihukumi darah fasad (untuk meneyempurnakan masa suci 15 hari) dan sisanya dihukumi darah haidl yang kedua bila memenuhi syarat-syarat haidl[10].
Contoh 01): keluar darah pertama 3 hari, berhenti 12 hari, keluar darah kedua 6 hari. Maka, 3 hari awal adalah haidl. 12 hari berhenti adalah masa suci. 3 hari darah kedua (peneyempurna suci 15 hari) adalah darah kotor dan dihukumi masa suci. Sedangkan 3 hari akhir adalah haidl yang kedua.
Contoh 02): keluar darah pertama 10 hari; berhenti 10 hari; keluar darah kedua 10 hari; maka, 10 hari awal adalah haidl. 10 hari ketika berhenti ditambah 5 hari darah kedua (penyempurna 15 hari) dihukumi masa suci. 5 hari akhir adalah haidl yang kedua.
Penentuan hukum ini apabila masa keluar darah kedua setelah dikurangi untuk menyempurnakan 15 hari (masa minimal suci) sisanya tidak lebih dari 15 hari. Dan jika melebihi 15 hari, maka wanita tersebut dihukumi mustahadloh dan ketentuan hukumnya disesuaikan dengan pembagian mustahadloh yang akan datang[11].
Contoh: keluar darah pertama 10 hari; berhenti 10 hari; keluar darah kedua 25 hari; maka, 10 hari pertama adalah haiidl. 10 hari berhenti ditambah 5 hari darah kedua adalah masa suci. Sedangkan 1 hari setelah itu dihukumi haidl yang kedua dan sisanya dihukumi istihadloh.
Hal ini, jika ia seorang wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haidl dan ia tidak bisa membedakan kuat dan lemahnya darah (mustahadloh mubtadi’ah ghayru mumayyizah). Jika ia sudah pernah haidl (mu’tadah ghayru mumayyizah), maka haidl dan sucinya disamakan dengan kebiasaannya (pengadatannya). Misal, kebiasaan haidlnya 5 hari maka: 10 hari pertama adalah haidl. 10 hari berhenti ditambah 5 hari darah kedua adalah masa suci. Sedang 5 hari setelah itu adalah haidl kedua (mengikuti kebiasaannya). Dan sisanya dihukumi istihadloh[12].
Next >>2
[1] al Hawi al Kubro I/456
[2] al Bajuri I/113
[3] as Syarqowiy I/147
[4] Ta’lim Muta’allim 4, I’anah at Thalibin IV/181
[5] al Fiqh al Islami I/456-457
[6] al Bajuri I/117
[7] Bugyah al Mustarsyidin 31
[8] Tuhfah al Muhtaj I/656, Bughyah al Mustarsyidin 31
[9] al Majmu’ II/521
[10] Bugyah al Mustarsyidin 31
[11] Bugyah al Mustarsyidin 31
[12] Bugyah al Mustarsyidin 31
Kamis, 09 Februari 2012
PROBLEMATIKA SHOLAT TARAWIH
Pada malam tanggal 23 Ramadlan tahun 2 H, Rasulullah pergi ke masjid untuk melakukan shalat (tarawih). Pada malam berikutnya, shahabat yang mengikuti shalat semakin bertambah banyak. Pada malam ketiga dan keempat para sahhabat telah berkumpul menunggu kedatangan Rasul. Ternyata Beliau malam itu tidak datang ke Masjid. Pagi harinya, Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk hadir ke Masjid selain aku khawatir apabila shalat ini diwajibkan bagi kalian.” Demikian dijelaskan Siti ‘Aisyah dalam riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.[1]
Raka’at Tarawih
Sesuatu yang sudah sejak lama terlaksana dan telah disepakati semua ulama, baik ulama kuno (salaf) maupun khalaf sejak masa khalifah Umar bin Khathâb adalah shalat tarawih yang berjumlah dua puluh rakaat..dan ada satu pendapat lagi yang dilontarkan Imam Malik bahwa sholat tarawih lebih dari dua puluh yaitu tiga puluh enam rakaat, pendapat yang kedua termasuk pendapat yang kurang kuat.
Dalil yang menjadi dasar pendapat ini (yang pertama) adalah kebijaksanaan Sayyidina Umar mengumpulkan para Sahabat untuk melaksanakan sholat tarawih dua puluh rakaat dengan satu imam. Dan hal ini ternyata tidak ditentang oleh shahabat yang lain bahkan termasuk isteri Nabi sendiri Siti ‘Aisyah. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) shahabat bahwa rakaat tarawih berjumlah dua puluh. Sebagaimana keterangan dalam hadits-hadits di bawah ini :
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ كَانُوا َيقُوْمُوْنَ عَلىَ عَهْدِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ t فيِ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً ( رواه البيهقي يإسناد صحيح )
Artinya; “Para shahabat melakukan shalat tarâwih di masa Umar ibn al-Khathab ra. di bulan Ramadlan sebanyak dua puluh rakaat”.
عَنْ يَزِيْدَ بْنِ رُوْمَانَ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَنِ عُمَرَ t بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً (رواه مالك في الموطأ)
Artinya; “Dari Yazid ibn Ruman ia berkata, "Manusia senantiasa menghidupkan malam (shalat tarawih) di masa Umar ra. sebanyak dua puluh rakaat."
Ibn Hammâm, tokoh madzhab Hanafy mengatakan, shalat Tarawih dua puluh adalah sunnah (yang dikerjakan) oleh khulafa’ ar-Rasyidîn.[2]
Persoalan seputar jumlah rakaat termasuk hal-hal yang tidak dapat dinalar (ta’abbudy). Tentunya para shahabat melakukan tarawih dua puluh rakaat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW. Karena tidak mungkin para shahabat berani membuat ketentuan sendiri dalam masalah jini yang jelas-jelas tidak dapat dinalar (bukan dalam ruang lingkup ijtihad). Dengan demikian, jumlah dua puluh rakaat termasuk ketentuan dari Nabi sendiri.
Tentang Hadits Jâbir
Bila ada yang mengatakan : Mengapa para shahabat melakukan shalat tarawih dua puluh rakaat padahal yang dilakukan Rasulullah adalah delapan rakaat sebagaimana dalam hadits riwayat Jâbir :
عَنْ جَابِرٍt قَالَ: صَلىَّ بِناَ رَسُوْلُ اللهِ r فيِ رَمَضَانَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ أَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتْ الْقاَبِلَةُ اِجْتَمَعْناَ فِي اْلمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ إِليَنْاَ حَتىَّ أَصْبَحْنَا ثُمَّ دَخَلْناَ فَقُلْناَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ ...الحديثَ (رواه ابن حبان وابن خزيمة )
Artinya: “Dari Jabir RA berkata; “Rasulullah shalat(tarawih) dengan kita pada bulan Ramadlan sebanayak delapan raka’at kemudian dilanjutkan sholat witir. Pada hari selanjutnya kami berkumpul di Masjid dan menunggu kehadiran Rasul sampai subuh (beliau belum datang. Lalu keesokan harinya kami datang menghadap Rasul…………” (HR. Ibn Majah dan Ibn Khuzaimah)
Memang hadits di atas menjelaskan bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat jamaah tarawih dengan para shahabat hanya delapan rakaat. Namun hadits tersebut tidak bisa menjadi dalil bahwa shalat tarawih hanya delapan rakaat karena hadits tersebut menurut para ulama mengandung beberapa kemungkinan :
1. Kemungkinan Jabir hanya datang pada malam kedua. Terbukti dalam hadits tersebut ia hanya menceritakan kisah dua malam, tidak tiga atau empat sebagaimana dalam hadits yang lain. Demikian menurut az-Zarqâny.
2. Kemungkinan Jabir terlambat datang ke Masjid dan hanya mendapati delapan rakaat sehingga ia mengisahkan sesuai dengan yang ia ketahui. Meski demikian, bukan berarti Jabir menafikan rakaat tambahan lebih dari delapan. Bahkan seandainya Jabir menafikanpun juga tidak berpengaruh apa-apa karena kemungkinan ia hanya mengisahkan yang ia ketahui sebagaimana sahabat Anas menafikan Nabi mengangkat tangan ketika berdoa di selain shalat istisqa’. Padahal sahabat-sahabat yang lain meriwayatkan bahwa Nabi SAW juga mengangkat tangan dalam doa di selain shalat istisqa’.
[1] Abi al-Fadhl ibn ‘Abdus Syakûr, Kasyf at-Tabârih, ( Surabaya : Maktabah Salim bin Nabhan ), tt., hal.3.
[2] Ibid, hal. 14.
1. Umpama Jabir tidak terlambat dan benar bahwa Nabi hanya berjamaah delapan rakaat, ini juga tidak dapat digunakan sebagai dalil tarawih hanya delapan rakaat karena ternyata para shahabat menyempurnakan tarawih di rumah masing-masing. Terbukti dari rumah mereka terdengar suara berisik (aziz ad-dabâbir). Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, tidak mungkin para shahabat berani menambah sendiri jumlah rakaat shalat kalau mereka tidak mendapat petunjuk dari Rasulullah. Sedang tindakan Rasulullah SAW yang hanya berjamaah delapan rakaat adalah bentuk kasih sayang dan welas asih Beliau kepada shahabat agar tidak terlalu berat.
2. Kemungkinan lain, Nabi telah melaksanakan dua belas rakaat sebelum beliau berangkat ke Masjid. [1]
Sehingga sebagaimana kaidah fiqh :
وَقاَئِعُ اْلأَحْوَالِ إِذَا تَطَرَّقَ عَلَيْهِ اْلإِحْتِماَلُ كَسَاهَا ثَوْبُ اْلإِجْمَالِ وَسَقَطَ بِهِ اْلإِسْتِدْلاَلُ
Arinya; “Ketentuan (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa kemungkinan maka termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai dalil.”.
3. Maka para ulama tidak memakai hadits ini dalam menentukan rakaat tarawih. Dalil para ulama adalah tindakan Sayyidina Umar ra. Mengikuti Umar berarti mengikuti Rasulullah SAW karena beberapa alasan :
4. Sayidina Umar telah mendapat julukan dari Nabi sebagai al-Fârûq karena Allah telah memisahkan antara yang haq dan yang batil melalui Umar.
5. Sayidina Umar adalah orang yang selalu mendapat ilham sehingga tidak mengatakan kecuali perkara yang baik dan benar karena kebeningan mata hatinya sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ اللهَ جَعَلَ اْلحَقَّ عَلىَ لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ (أخرجه الترمذي وقال حديث حسن صحيح)
Arinya; “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar” (HR at-Tirmidzi)
لقد كان فيمن قبلكم من الأمم مُحَدَّثُونَ أي مُلْهِمُونَ فإن يكن في أُمتي أحدٌ فإنه عمر (أخرجه البخاري)
Arinya; “Sungguh telah ada di dalam umat sebelum kalian orang-orang yang memiliki dugaan (penglihatan hati) dan firasat yang tepat. Maka jika ada seseorang di dalam umatku maka dia adalah Umar.” (HR Bukhâri)
ü Abdullah bin Umar pernah mengatakan,
مَا نَزَلَ بِالنَّاسِ أَمْرٌ قَطُّ فَقَالُوْا فِيْهِ وَقَالَ فِيْهِ ابْنُ اْلخَطَّابُ إِلاَّ نَزَلَ اْلقُرْآنُ عَلىَ نَحْوِ مَا قَالَ عُمَرُ (رواه الترمذي)
Arinya; “Tidak terjadi suatu masalah pada manusia, lalu mereka membincangkan masalah tersebut dan shabat Umar bin al-Khathâb juga mengatakan (berpendapat) kecuali al-Quran turun menerangkan masalah tersebut sesuai apa yang dikatakan Umar”. (HR at-Tirmidzi)
Hal ini terbukti dalam masalah maqâm Ibrâhîm, hijâb, dan tawanan perang Badar. Apabila al-Quran saja turun sesuai dengan pemikiran Sayidina Umar, bagaimana kita kok sampai tidak mengikuti ucapan Beliau ?
ü Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan sunnah khulafa` rasyidin, khususnya Abu Bakar dan Umar. Nabi bersabda :
وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهاَ بِالنَّوَاجِدِ
Arinya; "Dan sesungguhnya barang siapa hidup di antara kalian (setelah zamanku) maka ia akan melihat perselisihan pendapat yang sangat banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafâ` ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah dengan sangat erat."
ِاقْتََدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِيْ أَبيِ بَكْرٍ وَعُمَرَ
Arinya; "Ikutlah kalian semua dengan dua orang setelah wafatku, Abu Bakar dan Umar."
Tentang Hadits ‘Aisyah
Sebagian orang mencoba mengatakan bahwa tarawih tidak berjumlah dua puluh rakaat berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ أَنَّ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلُ اللهِ r قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيْدُ في رَمَضَانَ وَغَيْرِهِِِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَ ركعةً (رواه البخاري)
Arinya; “Dari :Aisyah RA, sesungguhnya Abi Salamah ibn Abdirrahman bertanya kepada ‘Aisyah RA: “bagaimana Rasullah shalat (tarawih)? ‘Aisyah menjawab: “Beliau tidak pernah menambah (jumlah raka’at tarawih) pada bulan Ramadlan melebihi sebelas raka’at.” (HR, Bukhari)
Menurut hadits tersebut, berarti shalat Nabi tidak lebih dari sebelas rakaat.
Perlu diketahui, hadits tersebut ternyata tidak dapat digunakan sebagai dalil menolak tarawih dua puluh rakaat karena alasan-alasan di bawah ini :
ü Hadits tersebut selengkapnya berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ أَنَّ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلُ اللهِ r قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيْدُ في رَمَضَانَ وَغَيْرِهِِِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَ ركعةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَليِّ أَرْبَعاً فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً قَالَتْ عَائِشَةُ t فَقُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ، قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ ؟ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَناَمَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي (رواه البخاري)
Arinya;”"Dari ‘Aisyah ra. Sesungguhnya Abi Salamah bin Abdirrahman bertanya kepadanya,”Bagaimana shalat Rasulullah SAW?” Ia menjawab,” Rasulullah SAW tidak pernah menambahi, baik di bulan Ramadlan maupun selain bulan ramadlan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau SAW shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan tentang baik dan panjangnya. Kemudian Beliau SAW shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian bertanya,“Ya Rasulallah, Apakah Anda tidur sebelum shalat witir ?Beliau menjawab,“ Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.” (HR Bukhâri, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Malik)”.
Jadi apabila kita baca hadits di atas secara utuh, maka konteks hadits tersebut adalah membicarakan shalat witir, bukan shalat tarawih, karena di akhir hadits itu, Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat witir.
Ada dalil-dalil yang memperkuat bahwa hadits tersebut memang untuk shalat witir diantaranya :
1. Keterangan yang terdapat dalam hadits Bukhâri :
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهاَ أَخبَرَتْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً كَانَتْ تِلْكَ صَلاَتَهُ يَسْجُدُ السَّجْدَةَ مِنْ ذَلِكَ قَدْرَ مَا َيقْرَأُ أَحَدُكُمْ خَمْسِيْنَ أَيَةً قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ رَأْسَهُ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ اْلفَجْرِ ثُمَّ يَضْطَجِعُ عَلىَ شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ اْلمُنَادِيْ لِلصَّلاَةِ (رواه البخاري)
2. Frase (rangkaian kata) ما كان يزيد في رمضان وغيرهmenunjukkan bahwa yang Beliau SAW lakukan adalah shalat witir karena shalat tarawih tidak dikerjakan di selain bulan Ramadlan.
3. Keterangan yang terdapat dalam hadits riwayat Imam Malik :
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِي r أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r يُصَلِّي مِنَ الَّليْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوْتِرَ مِنْهاَ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ اضْطَجَعَ عَلىَ شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ (رواه مالك وأبو داود)
Arinya; “Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah RA isteri Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW sholat pada malam (Ramadlan) sebanyak sebelas raka;at dan satu raka’at dari sebelas rakaat tersebut adalah witir. Kemudian setelah beliau selesai beliau tidur miring pada bagian tubuhnya sebelah kanan” (HR, Malik dan Abu Dawud)
ü Hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah adalah shalat Nabi yang ia saksikan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya Nabi SAW melakukan shalat tarawih melebihi sebelas rakaat. Karena ‘Aisyah adalah salah satu dari istri-istri Nabi, dan Nabi tidak selalu tidur di rumah ‘Aisyah setiap malam sehingga bisa memastikan dan memantapkan hukum.
Dan dalam hadits tersebut, ‘Aisyah hanya mengkabarkan shalat Nabi yang Beliau saksikan. Hal ini tak ubahnya hadits riwayat ‘Aisyah juga bahwa Beliau tidak pernah melihat Nabi melakukan shalat Dluhâ sebagaimana dalam Shahîh Muslim. Padahal telah jelas dalam hadits-hadits lain bahwa Nabi SAW selalu melakukan shalat Dluhâ, sehingga Beliau menganjurkan shahabat Abi Hurairah untuk untuk tidak meninggalkannya. Maka apakah kita akan mengingkari shalat sunnah Dluhâ yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW hanya karena ‘Aisyah ra. tidak pernah melihat Nabi melakukannya. Begitu pula dalam masalah tarawih.
Dalam perkataan beliau Rasulullah SAW tidak pernah melakukan shalat malam melebihi sebelas rakaat, baik di bulan Ramadlan atau lainnya. Karena dalam hadits tersebut ‘Aisyah ra. hanya menceritakan pada kita apa yang Beliau saksikan. Padahal Imam Ahmad pernah meriwayatkan dari Sayyidina ‘Ali :
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ r يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً سِوَى اْلمَكْـتُوْبَةِ
Qunut Sholat Witir Pada Separuh Akhir Bulan Ramadlan
Landasan qunut sholat witir pada separuh akhir bulan Ramadlan adalah qaul atsar (pendapat Sahabat Nabi SAW), yang melontarkannya ialah Umar ibn Khatthab RA. Sebagaimana penjelasan diatas bahwa perkataan salah satu sahabat ketika tidak ada satupun yang mengingkarinya bisa dijadikan sebuah landasan atas sebuah hukum. Qaul atsar tersebut sebagai berikut;
أَنَّ عُمَرَبْنَ اْلخَطَّابِ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَلاَ يَقْنُتُ إِلاَّ فِي النِّصْفِ الْباَقِيْ مِنْ رَمَضَانَ (رواه أبو داوود) نيل الأوطار، الجزءالثاني، ص53
Artinys; “Bahwasannya Umar ibn Khatthab RA mengu,mpulkan para orang-orang untuk berjama’ah dengan Ubay ibn Ka’ab sebagai Imam. Dan Ubay ibn Ka’ab sholat bersama mereka selama duapuluh malam, ia tidak membaca doa qunut kecuali pada separuh akhir dari bulan Ramadlan”
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ لاَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَلاَ فِي اْلوِتْرِ إِلاَّ فِي النِّصْفِ اْلأَخِرِ مِنْْْْْ رَمَضَانَ (رواه محمد بن نصر) نيل الأوطار الجزء الثاني، ص 52
Pernik Bacaan Taradli
Mendoakan seesorang yang mulia dianjurkan dalam Islam. Tujuannya adalah agar kita mendapat aliran barakahnya. Seperti halnya kita dianjurkan membaca shalawat kepada para nabi dan mendoakan para shahabat Nabi SAW. Ini disebabkan Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang memiliki keutamaan.
Membaca taradli kepada para shahabat berarti kita mengikuti apa yang dicontohkan oleh Allah melalui firman-Nya :
وَالسَّابِقُوْنَ اْلأَوَّلُوْنَ مِنَ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ.. الأية (التوبة 100 )
Artinys; "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah (QS at-Taubah:100).
Membaca Taradli di Sela Shalat Tarawih
Membaca taradli di sela shalat tarawih sebenarnya tidak dikenal di masa awal Islam. Yang terjadi di Makkah, orang-orang melakukan thawaf mengelilingi ka'bah setiap habis empat rakaat. Namun dengan pendekatan konsep bid'ah dapat disimpulkan bahwa membaca taradli di sela shalat tarawih diperbolehkan agama karena termasuk melaksanakan dua perintah Allah :
Membaca taradli sebagaimana dicontohkan Allah dalam surat at-Taubah ayat 100 di atas.
Memisah di antara beberapa shalat sunnah. Hal ini berarti melaksanakan perintah Rasulullah SAW sebagaimana dalam hadits :
َعَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ t أَنَّ مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه قَالَ لَهُ إذَا صَلَّيْت الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَتَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ r أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لاَ نَصِلَ صَلاَةً بِصَلاَةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Arinya;”"Dari Sâ`ib bin Yazîd sesungguhnya Muawiyah ra. berkata kepadanya,”Apabila kamu shalat Jum’at maka janganlah kamu menyambungnya dengan shalat yang lain sehingga engkau berbicara atau keluar, karena Rasulullah SAW memerintahkan kami dengan hal tersebut; agar jangan menyambung shalat dengan shalat yang lain sehingga berbicara atau keluarز" (HR Muslim).
Sebagaimana yang sudah dimaklumi, dua perintah di atas berbentuk umum, tidak ada ketentuan khusus kapan harus membaca taradli dan bagaimana ucapan apa yang harus di baca dalam memisah di antara dua shalat. Ini menunjukkan, membaca taradli dapat dilakukan kapan saja selama tidak ada ketentuan khusus. Begitu pula, memisah di antara dua shalat dapat dilakukan dengan bacaan apa saja. Dengan demikian membaca taradli di sela shalat tarawih diperbolehkan dan bahkan bisa mendapatkan pahala karena mengikuti dua perintah di atas asalkan tidak meyakini membaca taradli adalah satu-satunya cara dalam memisah di antara rangkaian shalat Tarawih. Sayyid Muhammad 'Alawy al-Maliki mengatakan, "Sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang disyariatkan berari juga disyariatkan. "
“Wallahu A’lam bi as Ahowwab”
-- Download --
[1] Ibid, hal.10-11, Sulaiman ibn Muhammad al-Bujairimy, Hâsyiyah al-Bujairimy ‘alâ al-Khathîb, ( Beirut : Dâr al-Fikr), vol. ke-1, hal.422., KH. Ali Makshum, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Abdul Hâmid as-Syarwany, Hâsyiyah as-Syarwani Ala Tuhfah al-Muhtâj, vol. II, hal. 286
[2] ‘Ali as-Shâbûny, Dalil-Dalil Shalat Tarawih Dua Puluh Rakaat, terjemah dari Al-Hadyu an-Nabawy as-Shahîh fî Shalât at-Tarâwîh oleh Ali al-Ibadi Thoha dan Sholihuddin Shofwan, (Jombang : Darul Hikmah), hal.63-65
Sumber: Lembaga Ittihadul Mubalighin PP.Lirboyo