1. Tidak Normal (Istihadloh)
Apabila darah yang dikeluarkan wanita melebihi 15 hari (maksimal haidl). Maka untuk hukumnya ditafsil sesuai kuat dan lemahnya darah, adat, daya ingat masa haidl yang telah lewat.
Wanita yang terjangkit istihadloh ini di bagi menjadi 7 (tujuh) kelompok:
1. mubtadi’ah mumayyizah;
2. mubtadi’ah ghoiru mumayyizah;
3. mu’tadah mumayyizah;
4. mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran wa waqtan;
5. mu’tadah ghoiru mumayyizah nasiyah li ‘adatiha qadran wa waqtan;
6. mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran la waqtan;
7. mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha waqtan la qadran.
I. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Wanita Saat Datang Dan Berhentinya Darah (haidl).
Saat darah keluar, seorang wanita wajib menghindari hal-hal yang diharamkan sebab haidl. Bila darah yang keluar telah berhenti, maka: jika darah yang keluar tidak mencapai 24 jam (batas minimal haidl), maka ia cukup membersihkan farjinya dan berwudlu’ bila ingin melakukan ibadah (tidak wajib mandi). Jika darah yang keluar sudah mencapai 24 jam maka sewaktu-waktu darah berhenti ia wajib mandi dan melakukan rutinitas ibadah. Bila kemudian darah keluar lagi, maka ia diwajibkan kembali menghindari hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidl. Jika darah berhenti lagi ia wajib mandi lagi, demikian seterusnya selama masih dalam masa 15 hari[1].
Kemudian darah dihukumi berhenti, bila seandainya diusap dengan cara memasukkan semisal kapuk sudah tidak ada cairan yang seesuai dngan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening)[2]. Namun, bila masih ada cairan yang berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan diantara ulama, ada yang mengatakan masih di hukumi darah haidl (qaul yang kuat) karena menganggap masih berwarna darah, disamping memandang hukum asal, bahwa cairan itu keluar pada masa imkanul haidl. Ada yang berpendapat bukan darah haidl, karena menganggap cairan itu tidak berwarna darah[3].
II. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Oleh Wanita Saat Mengalami Haidl
a) Sunah untuk tidak memotong kuku, rambut, dan lain-lain dari anggota badan saat haidl, karena ada keterangan kelak di akhirat anggota badan yang belum disucikan akan kembali ke pemiliknya masih dalam keadaan jinabat (belum disucikan). Akan tetapi bila terlanjur dipotong, maka yang wajib dibasuh adalah tempat (bekas) anggota yang dipotong, bukan potongan dari anggota itu[4].
b) Saat darah berhenti, wanita diperbolehkan mulai niat melaksanakan puasa sekalipun belum mandi. Karena haramnya puasa itu, disebabkan haidl bukan hadats. Berbeda dengan sholat, sebab penghalangnya adalah hadats. Juga berbeda dengan bersetubuh, sebab ada nash hadits yang secara jelas melarang menggauli istri sebelum bersuci[5].
c) Bagi wanita yang darah haidlnya berhenti dan belum sempat mandi jika ingin tidur, makan, atau minum disunnahkan membersihkan farjinya kemudian wudlu’. Dan bila meninggalkan hal ini, hukumnya makruh[6].
d) Biasanya, menjelang atau di saat haidl, wanita mengalami gangguan kesehatan. Di antaranya (berdasarkan hasil polling):
1. payudara mengencang dan teras sakit;
2. pegal-pegal, lemah dan lesu;
3. perut terasa sakit/mulas;
4. mudah emosi.
Hal-hal tersebut tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab itu hanyalah dampak dari keluarnya darah secara wajar. Biasanya akan hilang di saat berhentinya darah haidl, bahkan terkadang hal itu berlangsung sebentar.
III. Hukum yang berkaitan dengan haidl
Bagi wanita yang mengalami haidl, maka ada beberapa hal yang diharamkan, yaitu:
1. sholat (wajib maupun sunnah).
Sabda RasuluLlah r:
إذا اقبلت الحيضة فدعي الصلاة . الحديث (رواه البخاري)
Artinya: “Jika kamu (wanita) menghadapi (mengalami) haidl, maka tinggalkanlah sholat.” (H.R. Bukhari)
Sholat yang ditinggalakan selama masa haidl tidak wajib diqodlo’. Sebab tidak ada perintah qodlo’ dari syara’, disamping hal itu dianggap akan menimbulkan kesulitan (masyaqqah), mengingat kewajiban sholat sehari semalam lima kali. Bagi kaum wanita tidak usah khawatir akan hilangnya pahala dengan larangan sholat baginya, sebab jika dalam meninggalkan sholat karena haidl diniati tunduk dan mengikuti perintah Allah I ia akan tetap mendapat pahala[7].
2. Sujud syukur dan tilawah.
Pada dasarnya kedua sujud ini hukumnya sunnah dilakukan bila ada sebab-sebab yang menuntut sujud tersebut. Namun, karena syarat sahnya kedua sujud ini sama dengan syarat sahnya sholat, maka bagi wanita yang mengalami haidl tidak sah dan haram melakukannya[8].
3. Puasa, wajib maupun sunnah.
RasuluLlah r bersabda:
أليس إذا حاضت المرأة لم تصل ولم تصم. (متفق عليه في حديث طويل)
Artinya: “Bukankah perempuan apabila sedang haidl tidak boleh sholat dan puasa?” (H.R. Bukhari-Muslim).
Berbeda dengan sholat, puasa yang ditinggalkan itu wajib di qodlo’i mengingat puasa hanya sekali (satu bulan) dalam setahun, sehingga dianggap tidak timbul masyaqqah.
4. Thawaf (wajib maupun sunnah)
Semua ibadah haji boleh dilakukan oleh wanita haidl kecuali thawaf dan sholat sunnah thawaf . RasuluLlah r bersabda:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : لما جئنا سرف حضت فقال النبي صلعم افعلي ما يفعل الحاج غير ان لا تطوفي بالبيت حتى تطهري. (متفق عليه)
Artinya: dari A’isyah Ra. dia berkata ”ketika kami sampai di sarif, saya mengalami haidl”, maka Nabi Saw. bersabda: “Lakukanlah semua hal yang harus dilakukan oleh orang yang haji tetapi engkau tidak boleh thawaf di BaituLlah sehingga engkau suci (dari haidl).” (H.R. Bukhari-Muslim)
5. Membaca al Qur-an
RasuluLlah r bersabda:
لا يقرأ الجنب ولا الحائض شيأ من القرآن . رواه الترمذي
Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haidl membaca sesuatu (ayat) dari al Qur-an.” (H.R. al-Turmudzi).
Keharaman ini, bila dalam melafazkan al Qur-an diniati membaca al Qur-an, namun bila diniati zikir/doa, dimutlakkan atau dibaca dalam hati, maka hukumnya diperbolehkan[9].
Misalnya: ketika akan berdandan membaca بسم الله الرحمن الرحيم
6. Menyentuh dan membawa mushaf (al Qur-an).
Yang dimaksud mushaf adalah setiap sesuatu yang ditulisi lafaz al Qur-an, dengan tujuan dirosah (dibaca) meskipun kurang dari satu ayat.
Allah I berfirman:
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ، فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ، لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ، تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. (الواقعة 77 – 80 )
Artinya: “Sesungguhnya al Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (lauh al-mahfuzh), tidak (boleh) menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan, diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (QS. Al Wâqi’ah: 77-80)
Ayat ini, oleh sebagian ulama dijadikan sebagai salah satu dasar tidak diperbolehkannya menyentuh al Qur-an bagi orang yang hadats.
7. Lewat ataupun berdiam diri dalam masjid.
Nabi r bersabda:
إني لاأحل المسجد لحائض ولا جنب. رواه ابو داود
Artinya: “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haidl dan tidak pula bagi orang yang junub.” (HR. Abu Daud)
8. Dicerai.
Hal ini diharamkan, sebab bila sang istri dicerai saat haidl, maka akan menajdi penyebab bertambah lamanya masa ‘iddah (penantian untuk memastikan kosongnya rahim).
9. Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar. Keharaman ini merujuk pada firman Allah I dalam surat al-Baqarah ayat 222,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ. (البقرة 222)
yang artinya: ”oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (QS. Al Baqoroh: 222)
Dan hadits Nabi r yang diriwayatkan Abu Dawud t:
عن معاذ بن جبل انه سأل النبي ما يحل للرجل من أمرأته وهي حائض؟ فقال : ما فوق الإزار. رواه ابو داود
artinya: diceritakan dari sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ia bertanya kepada Nabi Saw. ”apa yang halal dilakukan seorang suami pada istrinya di saat haidl?” RasuluLlah menjawab: ”persentuhan kulit pada selain anggota antara lutut dan pusar”. (HR. Abu Daud t)
0 komentar:
Posting Komentar