Pada malam tanggal 23 Ramadlan tahun 2 H, Rasulullah pergi ke masjid untuk melakukan shalat (tarawih). Pada malam berikutnya, shahabat yang mengikuti shalat semakin bertambah banyak. Pada malam ketiga dan keempat para sahhabat telah berkumpul menunggu kedatangan Rasul. Ternyata Beliau malam itu tidak datang ke Masjid. Pagi harinya, Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk hadir ke Masjid selain aku khawatir apabila shalat ini diwajibkan bagi kalian.” Demikian dijelaskan Siti ‘Aisyah dalam riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.[1]
Raka’at Tarawih
Sesuatu yang sudah sejak lama terlaksana dan telah disepakati semua ulama, baik ulama kuno (salaf) maupun khalaf sejak masa khalifah Umar bin Khathâb adalah shalat tarawih yang berjumlah dua puluh rakaat..dan ada satu pendapat lagi yang dilontarkan Imam Malik bahwa sholat tarawih lebih dari dua puluh yaitu tiga puluh enam rakaat, pendapat yang kedua termasuk pendapat yang kurang kuat.
Dalil yang menjadi dasar pendapat ini (yang pertama) adalah kebijaksanaan Sayyidina Umar mengumpulkan para Sahabat untuk melaksanakan sholat tarawih dua puluh rakaat dengan satu imam. Dan hal ini ternyata tidak ditentang oleh shahabat yang lain bahkan termasuk isteri Nabi sendiri Siti ‘Aisyah. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) shahabat bahwa rakaat tarawih berjumlah dua puluh. Sebagaimana keterangan dalam hadits-hadits di bawah ini :
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ كَانُوا َيقُوْمُوْنَ عَلىَ عَهْدِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ t فيِ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً ( رواه البيهقي يإسناد صحيح )
Artinya; “Para shahabat melakukan shalat tarâwih di masa Umar ibn al-Khathab ra. di bulan Ramadlan sebanyak dua puluh rakaat”.
عَنْ يَزِيْدَ بْنِ رُوْمَانَ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَنِ عُمَرَ t بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً (رواه مالك في الموطأ)
Artinya; “Dari Yazid ibn Ruman ia berkata, "Manusia senantiasa menghidupkan malam (shalat tarawih) di masa Umar ra. sebanyak dua puluh rakaat."
Ibn Hammâm, tokoh madzhab Hanafy mengatakan, shalat Tarawih dua puluh adalah sunnah (yang dikerjakan) oleh khulafa’ ar-Rasyidîn.[2]
Persoalan seputar jumlah rakaat termasuk hal-hal yang tidak dapat dinalar (ta’abbudy). Tentunya para shahabat melakukan tarawih dua puluh rakaat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW. Karena tidak mungkin para shahabat berani membuat ketentuan sendiri dalam masalah jini yang jelas-jelas tidak dapat dinalar (bukan dalam ruang lingkup ijtihad). Dengan demikian, jumlah dua puluh rakaat termasuk ketentuan dari Nabi sendiri.
Tentang Hadits Jâbir
Bila ada yang mengatakan : Mengapa para shahabat melakukan shalat tarawih dua puluh rakaat padahal yang dilakukan Rasulullah adalah delapan rakaat sebagaimana dalam hadits riwayat Jâbir :
عَنْ جَابِرٍt قَالَ: صَلىَّ بِناَ رَسُوْلُ اللهِ r فيِ رَمَضَانَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ أَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتْ الْقاَبِلَةُ اِجْتَمَعْناَ فِي اْلمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ إِليَنْاَ حَتىَّ أَصْبَحْنَا ثُمَّ دَخَلْناَ فَقُلْناَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ ...الحديثَ (رواه ابن حبان وابن خزيمة )
Artinya: “Dari Jabir RA berkata; “Rasulullah shalat(tarawih) dengan kita pada bulan Ramadlan sebanayak delapan raka’at kemudian dilanjutkan sholat witir. Pada hari selanjutnya kami berkumpul di Masjid dan menunggu kehadiran Rasul sampai subuh (beliau belum datang. Lalu keesokan harinya kami datang menghadap Rasul…………” (HR. Ibn Majah dan Ibn Khuzaimah)
Memang hadits di atas menjelaskan bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat jamaah tarawih dengan para shahabat hanya delapan rakaat. Namun hadits tersebut tidak bisa menjadi dalil bahwa shalat tarawih hanya delapan rakaat karena hadits tersebut menurut para ulama mengandung beberapa kemungkinan :
1. Kemungkinan Jabir hanya datang pada malam kedua. Terbukti dalam hadits tersebut ia hanya menceritakan kisah dua malam, tidak tiga atau empat sebagaimana dalam hadits yang lain. Demikian menurut az-Zarqâny.
2. Kemungkinan Jabir terlambat datang ke Masjid dan hanya mendapati delapan rakaat sehingga ia mengisahkan sesuai dengan yang ia ketahui. Meski demikian, bukan berarti Jabir menafikan rakaat tambahan lebih dari delapan. Bahkan seandainya Jabir menafikanpun juga tidak berpengaruh apa-apa karena kemungkinan ia hanya mengisahkan yang ia ketahui sebagaimana sahabat Anas menafikan Nabi mengangkat tangan ketika berdoa di selain shalat istisqa’. Padahal sahabat-sahabat yang lain meriwayatkan bahwa Nabi SAW juga mengangkat tangan dalam doa di selain shalat istisqa’.
[1] Abi al-Fadhl ibn ‘Abdus Syakûr, Kasyf at-Tabârih, ( Surabaya : Maktabah Salim bin Nabhan ), tt., hal.3.
[2] Ibid, hal. 14.
1. Umpama Jabir tidak terlambat dan benar bahwa Nabi hanya berjamaah delapan rakaat, ini juga tidak dapat digunakan sebagai dalil tarawih hanya delapan rakaat karena ternyata para shahabat menyempurnakan tarawih di rumah masing-masing. Terbukti dari rumah mereka terdengar suara berisik (aziz ad-dabâbir). Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, tidak mungkin para shahabat berani menambah sendiri jumlah rakaat shalat kalau mereka tidak mendapat petunjuk dari Rasulullah. Sedang tindakan Rasulullah SAW yang hanya berjamaah delapan rakaat adalah bentuk kasih sayang dan welas asih Beliau kepada shahabat agar tidak terlalu berat.
2. Kemungkinan lain, Nabi telah melaksanakan dua belas rakaat sebelum beliau berangkat ke Masjid. [1]
Sehingga sebagaimana kaidah fiqh :
وَقاَئِعُ اْلأَحْوَالِ إِذَا تَطَرَّقَ عَلَيْهِ اْلإِحْتِماَلُ كَسَاهَا ثَوْبُ اْلإِجْمَالِ وَسَقَطَ بِهِ اْلإِسْتِدْلاَلُ
Arinya; “Ketentuan (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa kemungkinan maka termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai dalil.”.
3. Maka para ulama tidak memakai hadits ini dalam menentukan rakaat tarawih. Dalil para ulama adalah tindakan Sayyidina Umar ra. Mengikuti Umar berarti mengikuti Rasulullah SAW karena beberapa alasan :
4. Sayidina Umar telah mendapat julukan dari Nabi sebagai al-Fârûq karena Allah telah memisahkan antara yang haq dan yang batil melalui Umar.
5. Sayidina Umar adalah orang yang selalu mendapat ilham sehingga tidak mengatakan kecuali perkara yang baik dan benar karena kebeningan mata hatinya sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ اللهَ جَعَلَ اْلحَقَّ عَلىَ لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ (أخرجه الترمذي وقال حديث حسن صحيح)
Arinya; “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar” (HR at-Tirmidzi)
لقد كان فيمن قبلكم من الأمم مُحَدَّثُونَ أي مُلْهِمُونَ فإن يكن في أُمتي أحدٌ فإنه عمر (أخرجه البخاري)
Arinya; “Sungguh telah ada di dalam umat sebelum kalian orang-orang yang memiliki dugaan (penglihatan hati) dan firasat yang tepat. Maka jika ada seseorang di dalam umatku maka dia adalah Umar.” (HR Bukhâri)
ü Abdullah bin Umar pernah mengatakan,
مَا نَزَلَ بِالنَّاسِ أَمْرٌ قَطُّ فَقَالُوْا فِيْهِ وَقَالَ فِيْهِ ابْنُ اْلخَطَّابُ إِلاَّ نَزَلَ اْلقُرْآنُ عَلىَ نَحْوِ مَا قَالَ عُمَرُ (رواه الترمذي)
Arinya; “Tidak terjadi suatu masalah pada manusia, lalu mereka membincangkan masalah tersebut dan shabat Umar bin al-Khathâb juga mengatakan (berpendapat) kecuali al-Quran turun menerangkan masalah tersebut sesuai apa yang dikatakan Umar”. (HR at-Tirmidzi)
Hal ini terbukti dalam masalah maqâm Ibrâhîm, hijâb, dan tawanan perang Badar. Apabila al-Quran saja turun sesuai dengan pemikiran Sayidina Umar, bagaimana kita kok sampai tidak mengikuti ucapan Beliau ?
ü Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan sunnah khulafa` rasyidin, khususnya Abu Bakar dan Umar. Nabi bersabda :
وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهاَ بِالنَّوَاجِدِ
Arinya; "Dan sesungguhnya barang siapa hidup di antara kalian (setelah zamanku) maka ia akan melihat perselisihan pendapat yang sangat banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafâ` ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah dengan sangat erat."
ِاقْتََدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِيْ أَبيِ بَكْرٍ وَعُمَرَ
Arinya; "Ikutlah kalian semua dengan dua orang setelah wafatku, Abu Bakar dan Umar."
Tentang Hadits ‘Aisyah
Sebagian orang mencoba mengatakan bahwa tarawih tidak berjumlah dua puluh rakaat berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ أَنَّ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلُ اللهِ r قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيْدُ في رَمَضَانَ وَغَيْرِهِِِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَ ركعةً (رواه البخاري)
Arinya; “Dari :Aisyah RA, sesungguhnya Abi Salamah ibn Abdirrahman bertanya kepada ‘Aisyah RA: “bagaimana Rasullah shalat (tarawih)? ‘Aisyah menjawab: “Beliau tidak pernah menambah (jumlah raka’at tarawih) pada bulan Ramadlan melebihi sebelas raka’at.” (HR, Bukhari)
Menurut hadits tersebut, berarti shalat Nabi tidak lebih dari sebelas rakaat.
Perlu diketahui, hadits tersebut ternyata tidak dapat digunakan sebagai dalil menolak tarawih dua puluh rakaat karena alasan-alasan di bawah ini :
ü Hadits tersebut selengkapnya berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ أَنَّ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلُ اللهِ r قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيْدُ في رَمَضَانَ وَغَيْرِهِِِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَ ركعةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَليِّ أَرْبَعاً فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً قَالَتْ عَائِشَةُ t فَقُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ، قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ ؟ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَناَمَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي (رواه البخاري)
Arinya;”"Dari ‘Aisyah ra. Sesungguhnya Abi Salamah bin Abdirrahman bertanya kepadanya,”Bagaimana shalat Rasulullah SAW?” Ia menjawab,” Rasulullah SAW tidak pernah menambahi, baik di bulan Ramadlan maupun selain bulan ramadlan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau SAW shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan tentang baik dan panjangnya. Kemudian Beliau SAW shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian bertanya,“Ya Rasulallah, Apakah Anda tidur sebelum shalat witir ?Beliau menjawab,“ Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.” (HR Bukhâri, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Malik)”.
Jadi apabila kita baca hadits di atas secara utuh, maka konteks hadits tersebut adalah membicarakan shalat witir, bukan shalat tarawih, karena di akhir hadits itu, Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat witir.
Ada dalil-dalil yang memperkuat bahwa hadits tersebut memang untuk shalat witir diantaranya :
1. Keterangan yang terdapat dalam hadits Bukhâri :
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهاَ أَخبَرَتْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً كَانَتْ تِلْكَ صَلاَتَهُ يَسْجُدُ السَّجْدَةَ مِنْ ذَلِكَ قَدْرَ مَا َيقْرَأُ أَحَدُكُمْ خَمْسِيْنَ أَيَةً قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ رَأْسَهُ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ اْلفَجْرِ ثُمَّ يَضْطَجِعُ عَلىَ شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ اْلمُنَادِيْ لِلصَّلاَةِ (رواه البخاري)
2. Frase (rangkaian kata) ما كان يزيد في رمضان وغيرهmenunjukkan bahwa yang Beliau SAW lakukan adalah shalat witir karena shalat tarawih tidak dikerjakan di selain bulan Ramadlan.
3. Keterangan yang terdapat dalam hadits riwayat Imam Malik :
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِي r أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r يُصَلِّي مِنَ الَّليْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوْتِرَ مِنْهاَ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ اضْطَجَعَ عَلىَ شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ (رواه مالك وأبو داود)
Arinya; “Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah RA isteri Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW sholat pada malam (Ramadlan) sebanyak sebelas raka;at dan satu raka’at dari sebelas rakaat tersebut adalah witir. Kemudian setelah beliau selesai beliau tidur miring pada bagian tubuhnya sebelah kanan” (HR, Malik dan Abu Dawud)
ü Hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah adalah shalat Nabi yang ia saksikan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya Nabi SAW melakukan shalat tarawih melebihi sebelas rakaat. Karena ‘Aisyah adalah salah satu dari istri-istri Nabi, dan Nabi tidak selalu tidur di rumah ‘Aisyah setiap malam sehingga bisa memastikan dan memantapkan hukum.
Dan dalam hadits tersebut, ‘Aisyah hanya mengkabarkan shalat Nabi yang Beliau saksikan. Hal ini tak ubahnya hadits riwayat ‘Aisyah juga bahwa Beliau tidak pernah melihat Nabi melakukan shalat Dluhâ sebagaimana dalam Shahîh Muslim. Padahal telah jelas dalam hadits-hadits lain bahwa Nabi SAW selalu melakukan shalat Dluhâ, sehingga Beliau menganjurkan shahabat Abi Hurairah untuk untuk tidak meninggalkannya. Maka apakah kita akan mengingkari shalat sunnah Dluhâ yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW hanya karena ‘Aisyah ra. tidak pernah melihat Nabi melakukannya. Begitu pula dalam masalah tarawih.
Dalam perkataan beliau Rasulullah SAW tidak pernah melakukan shalat malam melebihi sebelas rakaat, baik di bulan Ramadlan atau lainnya. Karena dalam hadits tersebut ‘Aisyah ra. hanya menceritakan pada kita apa yang Beliau saksikan. Padahal Imam Ahmad pernah meriwayatkan dari Sayyidina ‘Ali :
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ r يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً سِوَى اْلمَكْـتُوْبَةِ
Qunut Sholat Witir Pada Separuh Akhir Bulan Ramadlan
Landasan qunut sholat witir pada separuh akhir bulan Ramadlan adalah qaul atsar (pendapat Sahabat Nabi SAW), yang melontarkannya ialah Umar ibn Khatthab RA. Sebagaimana penjelasan diatas bahwa perkataan salah satu sahabat ketika tidak ada satupun yang mengingkarinya bisa dijadikan sebuah landasan atas sebuah hukum. Qaul atsar tersebut sebagai berikut;
أَنَّ عُمَرَبْنَ اْلخَطَّابِ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَلاَ يَقْنُتُ إِلاَّ فِي النِّصْفِ الْباَقِيْ مِنْ رَمَضَانَ (رواه أبو داوود) نيل الأوطار، الجزءالثاني، ص53
Artinys; “Bahwasannya Umar ibn Khatthab RA mengu,mpulkan para orang-orang untuk berjama’ah dengan Ubay ibn Ka’ab sebagai Imam. Dan Ubay ibn Ka’ab sholat bersama mereka selama duapuluh malam, ia tidak membaca doa qunut kecuali pada separuh akhir dari bulan Ramadlan”
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ لاَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَلاَ فِي اْلوِتْرِ إِلاَّ فِي النِّصْفِ اْلأَخِرِ مِنْْْْْ رَمَضَانَ (رواه محمد بن نصر) نيل الأوطار الجزء الثاني، ص 52
Pernik Bacaan Taradli
Mendoakan seesorang yang mulia dianjurkan dalam Islam. Tujuannya adalah agar kita mendapat aliran barakahnya. Seperti halnya kita dianjurkan membaca shalawat kepada para nabi dan mendoakan para shahabat Nabi SAW. Ini disebabkan Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang memiliki keutamaan.
Membaca taradli kepada para shahabat berarti kita mengikuti apa yang dicontohkan oleh Allah melalui firman-Nya :
وَالسَّابِقُوْنَ اْلأَوَّلُوْنَ مِنَ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ.. الأية (التوبة 100 )
Artinys; "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah (QS at-Taubah:100).
Membaca Taradli di Sela Shalat Tarawih
Membaca taradli di sela shalat tarawih sebenarnya tidak dikenal di masa awal Islam. Yang terjadi di Makkah, orang-orang melakukan thawaf mengelilingi ka'bah setiap habis empat rakaat. Namun dengan pendekatan konsep bid'ah dapat disimpulkan bahwa membaca taradli di sela shalat tarawih diperbolehkan agama karena termasuk melaksanakan dua perintah Allah :
Membaca taradli sebagaimana dicontohkan Allah dalam surat at-Taubah ayat 100 di atas.
Memisah di antara beberapa shalat sunnah. Hal ini berarti melaksanakan perintah Rasulullah SAW sebagaimana dalam hadits :
َعَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ t أَنَّ مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه قَالَ لَهُ إذَا صَلَّيْت الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَتَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ r أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لاَ نَصِلَ صَلاَةً بِصَلاَةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Arinya;”"Dari Sâ`ib bin Yazîd sesungguhnya Muawiyah ra. berkata kepadanya,”Apabila kamu shalat Jum’at maka janganlah kamu menyambungnya dengan shalat yang lain sehingga engkau berbicara atau keluar, karena Rasulullah SAW memerintahkan kami dengan hal tersebut; agar jangan menyambung shalat dengan shalat yang lain sehingga berbicara atau keluarز" (HR Muslim).
Sebagaimana yang sudah dimaklumi, dua perintah di atas berbentuk umum, tidak ada ketentuan khusus kapan harus membaca taradli dan bagaimana ucapan apa yang harus di baca dalam memisah di antara dua shalat. Ini menunjukkan, membaca taradli dapat dilakukan kapan saja selama tidak ada ketentuan khusus. Begitu pula, memisah di antara dua shalat dapat dilakukan dengan bacaan apa saja. Dengan demikian membaca taradli di sela shalat tarawih diperbolehkan dan bahkan bisa mendapatkan pahala karena mengikuti dua perintah di atas asalkan tidak meyakini membaca taradli adalah satu-satunya cara dalam memisah di antara rangkaian shalat Tarawih. Sayyid Muhammad 'Alawy al-Maliki mengatakan, "Sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang disyariatkan berari juga disyariatkan. "
“Wallahu A’lam bi as Ahowwab”
-- Download --
[1] Ibid, hal.10-11, Sulaiman ibn Muhammad al-Bujairimy, Hâsyiyah al-Bujairimy ‘alâ al-Khathîb, ( Beirut : Dâr al-Fikr), vol. ke-1, hal.422., KH. Ali Makshum, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Abdul Hâmid as-Syarwany, Hâsyiyah as-Syarwani Ala Tuhfah al-Muhtâj, vol. II, hal. 286
[2] ‘Ali as-Shâbûny, Dalil-Dalil Shalat Tarawih Dua Puluh Rakaat, terjemah dari Al-Hadyu an-Nabawy as-Shahîh fî Shalât at-Tarâwîh oleh Ali al-Ibadi Thoha dan Sholihuddin Shofwan, (Jombang : Darul Hikmah), hal.63-65
Sumber: Lembaga Ittihadul Mubalighin PP.Lirboyo
1 komentar:
Assalamu'alaikum w.w . .
.saya mau tanya kalau Rasululloh SAW itu sholat tarawih sampai jam brp kira" (karna jman dhulu blum ada jam) dan tidur kmudian bangun untuk sahur pda wktu kapan...
Posting Komentar